The "Secret" Memorandum Of Rome To West Papuans

THE "SECRET" MEMORANDUM OF ROME (30 September 1962) AND THE ROME JOINT STATEMENT (20–21 Mei 1969.

@West Papua Map
"Catatan Sejarah Papua Barat", Published by : Kristian Griapon

The ‘Secret’ Memorandum of Rome Dalam buku West Pac-AMP tertulis isi dari Memorandum ini :
  1. Possibility to delay or to cancel The Act of Free Choice set for 1969 by the New York Agreement”. (Artinya : Kemungkinan menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York),
  2. Indonesia to occupy West Papua for 25 (twenty five years only, commencing May 01, 1963) [Artinya : Indonesia akan menduduki Papua Barat selama 25 tahun (duapuluh lima tahun saja, mulai dari 1 Mei, 1963],
  3. The execution of the 1969 Act of Free Choice would be carried out based on the Indonesian parliamentary 'musyawarah' (deliberation) practices. [Artinya : Pelaksanaan 1969 Penentuan Pendapat akan dijalankan berdasarkan cara Indonesia ‘musyawarah’],
  4. U.N.'s final report on the implementation of The Act of Free Choice to the UN General Assembly had to be accepted without open debate. [Artinya : Laporan akhir PBB atas implementasi Pepera kepada SU PBB harus diterima tanpa perdebatan terbuka],
  5. The USA to make investment through Indonesia state-owned companies for the exploitation of Natural Resources in West Papua. [Artinya : AS membuat investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksploitasi sumberdaya alam di Papua Barat],
  6. USA guaranteed Asian Development Bank US$ 30 Million to UNDP for the development of West Papua for 25 years. [Artinya : AS menjamin lewat Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di Papua Barat selama 25 tahun],
  7. USA to guarantee the World Bank plan and implement Transmigration of Indonesians to West Papua. [Artinya : AS menjamin rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke Papua Barat].
Rancangan ini kemudian menjadi sebuah Pernyataan Bersama, dengan nama The Rome Joint Statement. Menarik untuk dilihat bahwa apa yang dirancang itu akhirnya dimaklumkan kepada dunia dan dengan demikian secara hakiki merobah prinsip-prinsip fundamental dari The New York Agreement.

The Rome Joint Statement 

Cerita pelanggaran hak sebuah bangsa dan negara tidak hanya sampai di New York, tetapi berlanjut ke Eropa dengan nama The "Secret" Memorandum of Rome (atau Dokumen NKRI itu berjudul The Rome Joint Statement) yang kembali dirancang oleh AS lewat E. Bunker, dibicarakan antara NKRI, Belanda dan AS. Sekali lagi, dari permulaan sampai akhir (penandatanganan) memorandum rahasia ini tidak melibatkan wakil orang Papua. Yang mengherankan, isi The Rome Joint Statement (Pernyataan Bersama) ini secara mendasar dan secara sepihak merubah hal yang sangat prinsipil dalam New York Agreement, yaitu tatacara pelaksanaan Pepera. 

Dalam Pasal 22. The New York Agreement tentang Hak-Hak Penduduk Setempat dinyatakan: The UNTEA and Indonesia will guarantee fully the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and of assembly, of the inhabitants of the area. … [Artinya: UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak-hak, termasuk hak untuk kebebasan berbicara, kebebasan bergerak dan berkumpul dari penduduk wilayah setempat.] 

Menyangkut hal ini, dalam Disertasi Doktoralnya, seorang akademisi Inggris, Dr. John Saltford mengatakan: “A brief examination of the official November 1969 report is all that is needed to conclude that the Agreement was not fulfilled. Under its terms, the Netherlands, Indonesia and the UN had an obligation to protect the political rights and freedoms of the Papuans, and to ensure that an act of self-determination took place, in accordance with international practice. On both these points, the three parties failed, and they did so deliberately since genuine Papuan self-determination was never seen as an option by any of them once the Agreement was signed”. [Artinya: Hanya kajian singkat terhadap laporan pejabat PBB tahun 1969 sudahlah cukup untuk tiba pada kesimpulan bahwa Agreement itu tidak dipenuhi. Atas persyaratan yang ditandatanganinya sendiri, pihak Belanda, Indonesia dan PBB bertugas untuk melindungi hak politik dan bebebasan orang Papua, dan untuk memastikan bahwa hak penentuan nasib sendiri berjalan, sesuai dengan praktek internasional. Dalam kedua pokok ini, ketiga pihak telah gagal, dan mereka gagal dengan sengaja karena mereka tak pernah beranggapan bahwa penentuan pendapat yang sesungguhnya adalah sebuah pilihan setelah mereka membubuhkan tandatangan pada Agreement itu.] 

Di bagian lain buku ini sudah dibilang bahwa ada dua babak Otsus di Papua Barat, yaitu Babak I dan Babak II. Memorandum Roma dan Pernyataan Bersama Roma inilah RUU dan UU Otsus I, yang secara mengherankan tidak melibatkan orang Papua. Otsus I ini berjangka waktu 25 tahun, yaitu 1963 - 1988. Inilah dasar hukumnya sampai “Alm.Dr. Thomas Wapai Wainggai” memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Melanesia Barat, 14 Desember 1988, setelah Zeth Rumkorem dan Yacob Prai memproklamirkan Papua Merdeka 1 Juli 1971 berdasarkan janji Belanda, 1 Juli 1970 diberikan kemerdekaan Bangsa Papua Barat. 

Keduanya dalam konteks menggenapi janji-janji pihak asing, walaupun tanpa orang Papua dilibatkan dalam janji-janji itu. Memorandum/ Kesepakatan Roma ini selain rahasia, isinya penuh dengan skandal, yaitu : 
  1.  Skandal pertama tidak melibatkan orang Papua,
  2. Skandal kedua yang lebih parah yaitu pasal-pasal inti dari The New York Agreement 15 August 1962 dirubah secara sepihak. Di mana skandal itu terjadi? Di sinilah tempatnya, yaitu di Roma, tanggal 20-21 Mei 1969, sekitar sepuluh minggu sebelum Pepera yang dimulai 14 Juli 1969. Dalam pada itu, sistem Pepera disepakati sbb.: The Netherlands Ministers took careful note of the Indonesian position on these points and of the arguments on which the Indonesian Government based its choice of the "Musyawarah" system. Furthermore Mr. Luns and Mr. Udink noted with great interest the Indonesian Foreign Minister's statement concerning his Government's particular attention to the special requirements of West Papua. [Artinya: Menteri Luar Negeri memperhatikan dengan saksama posisi Indonesia dalam hal-hal ini dan tentang argumen-argumen yang melandasi pilihan Pemerintah Indonesia atas sistem "Musyawarah". Lebih Lanjut Tuan Luns dan Tuan Udink memperhatikan dengan perhatian penuh pernyataan Menlu Indonesia tentang perhatian khusus Pemerintahnya atas kebutuhankebutuhan khusus dari Papua Barat.] Pernyataan ini terjadi tanpa melibatkan PBB, secara rahasia antara Belanda dan Indonesia. Walaupun dalam teks terdahulunya New York Agreement menyatakan cara Pepera dengan pola one-man, one-vote alias satu orang satu suara, versi Agreement dimaksud yang sedang beredar di seluruh dunia, namun berbunyi musyawarah sebagai cara menjalankannya. Perubahan mendasar redaksional ini terjadi di The Rome Joint Statement. 
  3. Skandal ketiga walaupun isi New York Agreement disiarkan secara terbuka kepada orang Papua, isi Memorandum Roma sama sekali ditutup. Jadi, selain rapatnya rahasia, hasil rapat itu juga dirahasiakan. Sampai hari ini tidak dibukukan dalam dokumen resmi manapun juga. Jadi, orang Papua sebenarnya sudah bersabar walaupun mereka tahu hubungan Papua Barat – NKRI sarat dengan dosa-dosa bangsa lain terhadap bangsa dan negara yang sudah diakui tanggal 1 Desember 1961.
Otsus I di Papua Barat dijalankan penuh dengan lumuran darah. Alam Papua Barat sudah diobrak-abrik, dan kandungannyapun sudah digali keluar. Kandungan eksploitasi itu bukan dibawa ke Jakarta, tetapi ke luar negeri. Itulah sebabnya orang Papua bertahan pada posisi yang lebih hakiki, yang berakar pada harga diri sebuah bangsa dan negara daripada sekedar menerima atau menolak Otsus. Itulah sebabnya bangsa Papua Barat mempertahankan argumen sebagai suatu bangsa mempunyai hak penentuan nasib sendiri, tidak sekedar mau terima atau menolak kebijakan NKRI. Karena kasus ini tidak hanya menyebabkan malapetaka bagi orang Papua Barat, tetapi juga telah memulai sebuah episode pencatatan nama dan nilai rapport Merah bagi NKRI. 

Papua Barat dijadikan wilayah eksploitasi sumber daya alam Imperialis AS dan Sekutunya, NKRI dipaksa memenuhi janji dalam memorandum Roma ini, dan akibatnya harus memberi jaminan keamanan bagi kegiatan eksploitasi Imperialis AS dan Sekutunya dengan menggunakan Sandi NKRI “Pembangunan di Papua Barat", akibatnya terjadi pelanggaran HAM besar-besaran di Papua Barat yang hingga saat ini kasusnya ditutupi dalam rangka mengamankan aset operasional ekspoloitasi sumber daya alam oleh Imperialis AS dan Sekutunya. 

Salah satu hasil The Joint Rome Agreement itu adalah penyerahan wilayah Papua Barat dari Belanda kepada NKRI lewat UNTEA, dan dilaksanakan secepat-cepatnya. Peristiwa itu terjadi 1 Mei 1963.
Peristiwa ini terjadi Enam tahun lebih dulu sebelum dilaksanakan PEPERA 1969 yang akan menentukan keputusan orang Papua Barat, apakah mau bergabung dengan NKRI atau mau berdiri sendiri sesuai dengan deklarasi 1 Desember 1961. 

Dalam Perjanjian New York dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, yaitu bahwa tahapan pertama dimulai "dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia. 

Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu pemberlakuan PEPERA. Tahap kedua ini tidak dibatasi PBB untuk menemukan waktu yang tepat, dan UNTEA akan melaksanakan transfer tanggungjawab administrasi kepada Indonesia yang kemudian akan melaksanakan PEPERA sesuai dengan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962. 

Padahal kalau kita lihat, tanggal 1 Mei 1963 adalah waktu berakhirnya Tahap Pertama tadi. Tetapi sebelum Tahap Kedua dijalankan, wilayah Papua Barat sudah diserahkan kepada NKRI.
Yang menjadi pertanyaan :
  • Apakah mereka tidak mengerti redaksi The New York Agreement ?
  • Apakah mereka salah menghitung waktu ?
  • Ataukah memang ada manuver-manuver politik NKRI yang dikenal kotor itu ?
Ini pokok persoalan utama, yang sampai detik ini masih diingat, masih dituntut dan masih disengketakan orang Papua Barat. Karena itu pemaksaan Otsus sebagai pengganti aspirasi "M" dengan jelas-jelas tidak ada korelasi dan tidak ada relevansinya dengan skandal perjanjian rahasia, di luar koridor hukum yang diadakan antara Belanda dan Indonesia. ("Catatan Sejarah Papua Barat" sumber : https://www.westpapua/docs/history-indo-html)
 ***
#F4WP